Jumat, 06 Maret 2009

apa itu EKOFARMING

"Pertanian modern" telah kehilangan dasar-dasar ekologis karena mengabaikan hukum alam yang ada. Harus diakui bahwa untuk sementara waktu "tekhnofarming" memang dapat meningkatkan produksi secara menyolok. Tetapi untuk jangka panjang "tekhnofarming" pasti akan mengurangi stabilitas system pertanian ini sehingga produksi merosot sampai akhirnya tidak menghasilkan sama sekali. Untuk mengembalikan stabilitas harus dibangkitkan kembali kesadaran akan asas-asas ekologis. Kesadaran akan asas-asas ekologis ini terutama sangat penting dan relevan bagi daerah tropis karena di daerah tropis keseimbangan alam sangat peka terhadap gangguan. Ini juga berarti bahwa perlu dikembangkan bentuk-bentuk pengelolaan yang dapat memelihara dan memeperbaiki areal pertanian.
Semenjak revolusi hijau ramai secara global (dimulai sejak 1934 di meksiko dan menyeluruh pada abad 20), eksplorasi terhadap pertanian dilakukan besar-besaran sebagai komoditas kesejahteraan manusia. Hal yang dilakukan pertama kali tentu saja konversi lahan hutan menjadi lahan pertanian, dan ini dilakukan secara besar-besaran. Pertanian menjadi satu hal penting yang menopang kehidupan manusia. Pertanian konvensional memang memberikan berkah kepada penduduk dunia, namun juga memberikan masalah lain kepada lingkungan bahkan kepada keberlanjutan pertanian itu sendiri.
Dewasa ini pertanian konvensional banyak memberikan masalah, baik kepada lingkungan luar maupun kepada sistem bertani itu sendiri. Pertama melihat semakin menyempitnya lahan untuk bertani maka banyak masyarakat tani membuka lahan di tempat yang seharusnya tidak untuk bertani, bahkan di lahan konservas sekalipun, Seperti di badan pegunungan yang notabene merupakan daerah konservasi air. Konversi lahan ini banyak mengakibatkan dampak yang nyata. Hilangnya daerah konservasi air menyebabkan daerah perkotaan yang berada di bawah gunung sering mengalami kebanjiran, selain itu semakin sedikitnya ketersediannya air bersih dan air untuk daerah pesawahan di daerah yang lebih rendah.
Kemudian disadari bahwa sistem pertanian selama ini tidak melihat baik kepada unsur ekologis sehingga keberlanjutan pertanian terbatas hingga habisnya sumber daya ekologis itu sendiri. Pertanian konvensional juga telah meningkatkan penggunaan pestisida yang mengakibatkan rusaknya tanah serta pola ekosistem yang ada di dalamnya sebagai pendukung keberlanjutan “hidup” tanah. Melihat itu, sistem pertanian saat ini melihat ekologi sebagai salah satu elemen penting untuk keberlansungan pertanian itu sendiri. Dalam kata lain lahirlah suatu konsep ekologi pertanian yang disebut ekofarming atau pertanian berorientasi ekologi (ecology oriented farming).
Ecofarming sendiri adalah bentuk budidaya pertanian yang mengusahakan sedapat mungkin tercapainya keharmonisan dengan lingkungannya. Dalam hal tertentu dalam ecofarming bisa saja memasukkan komponen pepohonan atau tumbuhan berkayu lainnya sehingga dapat disebut agroforestri. Dalam eco-farming tidak selalu dijumpai unsur kehutanan dalam kombinasinya, sehingga dalam hal ini ecofarming merupakan kegiatan pertanian.
Dalam istilah lain disebut juga integrated farming (atau integrated crop management, ICM), merupakan pola holistic penggunaan lahan yang mengintegrasikan proses regulasi alami menjadi aktivitas pertanian untuk mencapai peralihan maksimal dari input off-farm dan untuk mempertahankan pendapatan pertanian. Sistem-sistem yang terintegrasi didalamnya antara lain: multifunctional crop rotation, integrated nutrient management, minimum soil cultivation, integrated crop management, ecological infrastructure management.
Ekofarming juga disebut sebagai Organic farming atau metode pertanian yang meminimalisir penggunaan kimia dalam proses produksinya. Hal ini bertujuan untuk memproduksi hasil tani dengan nilai nutrisi tinggi dan mengimprovisasi fertilitas jangka panjang serta tanah pertanian yang berkelanjutan. Sistem ini memajukan dan meninggikan agroekosistem, termasuk biodiversitas, siklus biologi dan aktivitas biologi di dalam tanah. Istilah organic farming sendiri ditemukan oleh Lord Northbourne dari bukunya berjudul Look to the Land yang lahir dari konsepsinya tentang “pertanian sebagai organisme”, dia memaparkan sebuah pendekatan holistic, keseimbangan ekologis ke dalam pertanian.
Prinsip utama pertanian organik adalah penggunaan input luar yang rendah yang berlawanan dengan penggunaan input luar yang tinggi. Berdasarkan prinsip tersebut, maka berkembang berbagai istilah seperti Cyclic Farming System, regeneratif agriculture, sustainable agriculture, organic farming, organic system, organic agriculture, biological agriculture, purely organik agriculture, dan ecofarming, yang merupakan kontras dari istilah-istilah conventional farming, industrialized form agriculture, dan industrialized farming system (Mugnisjah, 2001). Pertanian organik merupakan hukum pengembalian (low of return) yang berarti suatu sistem yang berusaha untuk mengembalikan semua jenis bahan organik ke dalam tanah baik dalam bentuk residu dan limbah pertanaman maupun ternak yang selanjutnya bertujuan memberi makanan pada tanaman (Sutanto, 2002).
Praktik ekofarming tidak selalu menyalahkan pertanian konvensional secara keseluruhan, melainkan bagaimana menghubungkan dari konsep pertanian konvensional menjadi sesuatu yang baik bagi alam mengacu pada konsep “kembali ke alam”. Salah satu contohnya adalah pengelolaan ekofarming pada jenis pertanian kultivasi bergantian (Shifting cultivation). Shifting cultivation atau pertanian slash and burn (potong dan bakar) dikenal juga sebagai ladang-hutan bergantian. Pengelolaan ekologis dalam hal ini mengacu pada masalah masa tandus (fallow) dan masa tanam secara bergantian untuk keberlanjutan pertanian tersebut.
Hingga saat ini, shifting cultivation sendiri belum cukup dimengerti, selalu disebut primitif, boros, ilegal, tanpa mengambil pertimbangan variabel lokal seperti kerapatan populasi, areal lahan yang tersedia, iklim, tanah, atau kearifan lokal pertanian. Meski pengertian pertanian bergantian (”shifting cultivation”) masih dalam perdebatan namun banyak pakar menyetujui bahwa pada istilah tersebut terdapat komponen arti yaitu berbagai macam aplikasi bertani yang memiliki masa tandus dalam arti untuk mempertahankan produktivitas tanah.
Sementara itu dua alasan utama dilakukannya penandusan (fallow) adalah untuk mengeliminasi keberadaan gulma dan membangun fertilitas ekosistem. Gulma tentu saja dianggap mengganggu bagi lahan pertanian dalam hal kompetisi nutrisi pada tanah dimana gulma memiliki ketahanan hidup yang tinggi dan pertumbuhan yang super cepat. Hal ini tentu saja menjadi kompetitor besar bagi komoditas pertanian. Beberapa studi memperlihatkan apakah peningkatan tekanan gulma berkorelasi dengan reduksi panen.
Fertilitas ekosistem berhubungan juga dengan pembersihan ladang dari gulma pada masa tandus, menurut Clarke 1976 dan Dove 1985 dari berbagai studi mengindikasikan bahwa hutan sekunder yang muda berkembang menuju hutan yang matang karena kemudahan dalam pembersihan (”easy clearing”). Hal ini karena pengaruh kuat masa tandus terhadap kondisi tanah pada masa berladang setelah melalui masa tandus.
Ekofarming memiliki keuntungan baik dari segi ekologis maupun ekonomi karena sistem ini memang mengintegrasikan keduanya. Keuntungan ekologis jelas didapat diantaranya konservasi air, siklus daur ulang hara pada tanah, biodiversitas yang tinggi, dan tentu saja fertilitas ekosistem sehingga didapat pertanian berkelanjutan. Keuntungan ekonomi didapat dari optimalisasi produksi pertanian melalui berbagai cara pertanian seperti diversifikasi komoditas dalam satu petak (multiple cropping), dapat juga dengan lahan kecil dan sumber daya pekerja minimum dengan cara permaculture (permanent agriculture) atau implementasi pertanian skala kecil bahkan mikro yang diintegrasikan dengan habitat manusia dan diserahkan pada pola ekosistem alami.
Pada sistem ekonomi, ekofarming sebetulnya dapat masuk pada sistem capital employed maupun subsistence tergantung pola hubungan manusia-pertanian diarahkan pada kesejahteraan manusia. Bila mendefinisikan kesejahteraan dengan penghasilan tinggi maka hasil surplus ekofarming dapat dipasarkan secara global (capital) maupun lokal (subsisten) dengan produk yang unggul dari segi alamiah. Bila kesejahteraan dapat diterjemahkan pada terpenuhinya kebutuhan manusia maka hasil panen dapat mencukupi konsumsi pangan keluarga bahkan saling berbagi surplus panen, tentu saja hal in ihanya ada pada sistem subsisten.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar